Kamis, 27 Januari 2022

I am a Hero (2016)


Ketika menonton film zombie apa yang sebenarnya ingin kita harapkan dari film tersebut. Apakah sebuah serbuan maut menegangkan nan mengancam? Atau sebuah gambaran para zombie gila yang asik mencabik cabik tubuh para manusia? Itu adalah kombinasi yang biasa kita dapatkan dalam film-film zombie kebanyakan. Tapi bagaimana jika film zombie dibuat oleh negara yang notabene-nya bergerak dan cerdas dalam film drama?. 


Setelah sebelumnya Korea Selatan diguncang oleh ketegangan para penumpang dalam kereta yang tetiba digrayangi oleh para zombie dalam Train to Busan, kali ini Jepang memperkenalkan film zombie yang tak kalah menyenangkannya dengan Train to Busan, dengan dikemas secara lebih unik khas film-film jepang.

Diadaptasi dari Manga karangan Kengo Hanazawa dengan judul yang sama, I am a Hero adalah sebuah sajian film zombie yang sebenarnya menggunakan formula yang biasa; kota yang diserang oleh virus zombie, menggigit manusia kemudian menular. Tapi dalam film zombie dari jepang kali ini, zombie bukanlah jualan utama. Melalui karakter Hideo, seorang asisten komik berumur 35 tahun yang belum sama sekali melakukan debut, dikejar oleh bayang-bayangnya untuk sukses, namun tanpa perjuangan yang besar, hal ini membuatnya sering diledek di tempat kerja bahkan dicela oleh pacarnya sendiri karena dianggap seorang yang hanya tukang khayal saja tanpa tindakan nyata. Hingga tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba di suatu pagi Hideo mendapati kota tempat tinggalnya diserang oleh para virus mengerikan (yang kemudian disebut sebagai virus ZQN), membuat para warga kota hilang kendali menjadi zombie. Kondisi ini membuat Hideo bak tenggelam dalam khayalannya sendiri. Kondisi hidup mati yang secara tidak langsung menuntunnya untuk menjadi pahlawan atau tetap menjadi seorang pecundang selamanya.

Namun berbeda dengan kebanyakan film zombie pada umumnya yang lebih menekankan scene action dibanding alur cerita, I am a Hero tampil lebih seperti film drama dibanding film action atau thriller. Alur cerita berjalan lambat dan lebih menekankan sisi penokohan tokoh-tokohnya (terutama pembangunan tokoh Hideo). Bagi penonton umum, hal ini akan tampak mengganggu dan kurang asyik untuk diikuti. Tapi bagi penggemar film jepang seperti saya, gaya bercerita lambat seperti ini sudah seperti ciri khas dari film Jepang itu sendiri. Jika sanggup sabar dan menikmatinya, film ini akan benar-benar layak mendapatkan kredit yang lebih sebagai film zombie. Penokohan karakternya yang kuat membuat film ini tidak hanya tampil garang dalam segi aksi, tapi juga membawa pesan dan pelajaran yang penting yang membuat kita tidak hanya selesai menontonnya dengan rasa puas saja.

Secara visual, penggambaran wujud zombie disini lebih nampak natural nan brutal. Tidak hanya itu, ada cukup banyak darah yang membuatnya kelihatan ngeri. Uniknya, zombie disini akan nampak seperti manusia normal ketika tidak sedang bertemu dengan manusia yang belum terkena gigitan, mereka akan nampak melakukan kegiatan yang biasa mereka lakukan sebelum terkena virus. Ada yang kelihatan sedang belanja, telfonan, berlari-lari layaknya atlit. Membuatnya nampak unik tapi creepy. Mungkin bisa dikatakan kemunculan dan serangan para zombie ini hanya muncul di bagian awal film dan bagian ketiga dari film menjelang akhir. Namun itu tidak berarti buruk, meskipun lebih menekankan unsur cerita dan drama, sisi kebrutalan zombie di seperempat film menjelang akhir akan benar-benar memuaskan, serangan zombie-zombie yang hadir tidak tanggung-tanggung. Berhasil nampak chaos nan menegangkan

Shinsuke Sato sebagai sutradara memang cocok menggarap adaptasi manga/anime action papan atas. Setelah sebelumnya berhasil menggarap dengan apik adaptasi live action Gantz pada tahun 2011, I am Hero menjadi pencapaian yang tinggi, mengingat kualitasnya yang jauh lebih baik. Baik dari penulisan naskah maupun segi directing. Hingga tulisan ini dibuat, dia sudah menggarap film-film adaptasi manga action seperti Inuyashiki (2018), Kingdom (2019), dan Bleach (2018). Keunggulan dari directing Shinsuke Sato ada pada penggarapn CGI yang tidak pernah nampak kacangan meskipun masih belum semulus spesial efek garapan film-film Hollywood. Namun penggarapan CGi di I am Hero tetaplah mengagumkan, terutamajika kitasandingkan dengan film-film asia lainnya.

Directing Shinsuke Sato tidak akan berjalan baik tanpa dukungan para castnya yang berhasil memerankan perannya masing-msing secara baik. Terutama Yo Oizumi yang berperan sebagai Hideo yang sanggup  mentransformasikan dirinya sebagai seorang om-om pecundang yang lemah namun baik hati. Begitu juga dengan lawan mainnya Arimura Kasumi yang tampil apik dan emosional meskipun minim dialog. Kehadirannya penting guna memberikan dinamika bagi pertumbuhan karakter utama.

Overall, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa film ini lebih digambarkan untuk mengamati perkembangan karakter Hideo, setelah mendapati dirinya dalam tragedi zombie dan pengenalannnya dengan karakter-karakter sepanjang film. Bagaimana dirinya begitu pecundang, bagaimana perkembangan karakternya setelah muncul wabah zombie dan bertemunya dengan karakter lainnya sepanjang film. Pendekatannya yang lebih mengutamakan sisi drama dibanding banyaknya pengadeganan laga, menghasilkan tontonan film zombie yang terasa fresh dan tidak biasa. Memberikan tontonan film zombie yang unik namun sanggup berkesan. Bagaimana film ini dengan sangat rapih memberikan gambaran tentang from zero to hero secara gamblang.

Jumat, 01 Januari 2021

Ratu Ilmu Hitam (2019)


Setelah Pengabdi Setan (2017), hype film-film horror klasik kembali menyeruak, kembali mendorong sineas tanah air untuk membuat reboot salah satu film horror lama yang tidak kalah suksesnya pada zaman dulu selain Pengabdi Setan (1988) yang begitu memorable. 

Kali ini film klasik yang dipilih adalah Ratu Ilmu Hitam (1981). Bukan tanpa alasan, selain karna memang film garapan sutradara Lilik Sudjio tersebut sanggup membawa kengerian epik lewat berbagai adegan santet nyelenehnya, film ini sanggup membawa Suzana naik panggung bersaing di nominasi aktris terpilih di ajang FFI. 

Hal itulah yang membuat Kimo Istamboel yang terkenal dengan Rumah Dara (2019)-nya, terobsesi untuk membuat versi baru Ratu Ilmu Hitam yang lebih garang dan sadis yang sudah menjadi keahlian Kimo dalam menggarap film gore semenjak menukangi Rumah Dara. 

Mencoba peruntungan, Kimo menggandeng Joko Anwar sebagai penulis naskah, tentu dengan harapan kesuksesan Ratu Ilmu Hitam versi baru ini tidak akan kalah sukses dan menyeramkannya dengan garapan Joko Anwar, Pengabdi Setan yang saat penayangannya saja sanggup mencapai kesuksesan 7 juta penonton.

Ratu Ilmu Hitam versi lama, menguatkan tokoh Murni (Suzana) dan gaya penceritaan filmnya yang kuat akan pembalasan dendam, fitnah, dan ilmu kleniknya yg begitu Indonesia.
Fokus utama si Murni dalam mengeksekusi setiap gerak gerik balas dendamnya. Emosi yg terbangun dari awal begitu mengalir hingga membuatnya harus melawan balik derita apa yang didapatnya. 

Berbeda dengan versi lama, Joko Anwar sebagai pemegang naskahnya turut andil mengubah gaya ceritanya meskipun spirit atau esinsi aslinya tetap kuat. Seperti film-filmnya Joko Anwar yang selalu kuat dalam misteri dan intrik setiap karakter-karakternya, dalam Ratu Ilmu Hitam versi baru ini juga Joko Anwar membalikkan situasi. Mengarahkan cerita dalam misteri, hingga balas dendam menjadi konklusi di bagian klimaksnyaa. 

Namun itu tidak sama sekali menghancurkan keseruan filmnya. Kimo sebagai sutradara begitu lihai menjalankan tempo ceritaa. Misteri yang dibangun berjalan pelan tapi tetap menegangkan. Atmosfirnya dibangun dengan kuat. Kekuatan gorenya juga sangat memanjakan mata, meski tidak sebrutal rumah dara, segala bentuk siksaan santet disini cukup mengganggu, terutama yg memiliki pobia. Berbagai siksaan ditampilkan berbeda beda, dan tampil baik dengan dukungan visual effect yg begitu rapiih nan memukau.

Namun film ini bukan tanpa celah, karena fokusnya drama pembentukan atmosfer teror yang dibangun dengan pelan dan cukup memakan durasi, siksa demi siksa ketika masuk waktu terror terkesan kurang lamaa. Per bagian siksaan dijalankan terlalu cepat meskipun semuanya tampil sedap dan mengganggu. 

Terutama di bagian akhir, munculnya sang antagonis alias sang ratu ilmu hitam tidak mendorong ke klimaks teror yang kita ekspektasikan dari awal, dimana kita sudah dibangun takut duluan. Pnyelesaiannya cenderung terlalu cepat. Kebangkitan ratu ilmu hitam kurang biadap. Sosoknya cenderung cepat pudar. Padahal kita semua mengharapkan dia bagaikan dadjal yang sulit dikalahkan.

Bagaimanapun juga, ratu ilmu hitam adalah film horror indonesia terbaik di tahun 2019. Terornya nyata. Penampilan castnya brilian. Naskahnya kuat. Visual effect-nya membuatnya naik kelas. Film-film gore seperti ini jarang ditemui di indonesia. Ratu ilmu hitam pantang untuk dilewatkan.

7/10

Rabu, 30 Desember 2020

Sonic The Hedgehog (2020)


Sejauh ini, dari segi kualitas performa live action adaptasi dari video game tidak pernah benar-benar mencapai tingkat keberhasilan yang signifikan baik di ranah pendapatan box office maupun tanggapan dari para kritikus di seluruh dunia. Terakhir, tahun 2019 kemarin Detektive Pikachu cukup bikin exited. Mengingat anime dan video gamenya yang sangat terkenal. Namun meski digarap cukup serius oleh Warner Bros, kualitas CGI yang mumpuni belum bisa menambal pondasi cerita yang terkesan terlalu ringan, meski pendapatan box officenya mencapai 431,7 USD dari anggaran 100an juta USD. Hal ini terbukti belum cukup untuk memuaskan penonton maupun para kritikus rottentomatoes yang hanya memberikan Pikachu discore 69% saja. Lalu bagaimana dengan performa adaptasi video game terbaru si landak biru cepat yang begitu fenomenal nan iconic ini?

Dalam cerita, Sonic dikisahkan sebagai landak biru yang terpaksa harus berpindah ke bumi untuk menyelamatkan diri setelah kekuatan alaminya diburu oleh suku echidnas. Berharap hidup lebih nyaman di planet baru, dia malah membuat kesalahan tak sengaja yang membuat kekuatan supersoniknya sanggup memadamkan listrik secara massif hingga dia harus berhadapan dengan Dr. Robotnic, ilmuan gila ber IQ 300 yang dikirimkan pemerintah untuk mencari tahu dan menangkap Sonic yang sempat bikin geger seantero Pasific Nortwest ini.

Beruntungnya, dia mengetahui orang paling baik dan paling nyaman di kota Green Hills kota yang selama ini menjadi persembunyiannya, yaitu Tom Wachoski seorang polisi yang boring karena kurangnya aksi criminal yang dia hadapi di Green Hills. Pengenalan canggung keduanya menimbulkan persahabatan yang unik, yang membuat keduanya terpaksa bermain kucing-kucingan dengan Dr. Robotnic.

Sebagai film hiburan anak-anak, Sonic cukup berhasil dengan bentuk karakternya yang lucu dan menggemaskan. Syukurnya itu setelah perombakan desain ulang Paramount Pictures yang bersedia mendengarkan kritikan netizen akan desain karakter awal yang terlalu realistik, nampak aneh dan tidak ramah dengan desain karakter dalam game aslinya. Dijamin bentuknya yang mungil dan tingkahnya yang ga mau diem bakal bikin anak-anak sekarang yang belum mengenal Sonic pun akan gemas dan terhibur melihatnya.

Bagi penggemar setia versi game nya? Yap, jelas film ini berhasil menjadi nostalgia yang cukup memuaskan. Kesetiannya terhadap elemen-elemen penting dalam gamenya contoh hal kecil saja seperti adanya cincin (emas) ajaib yang sering kita temui dalam versi game. Belum lagi kita akan dipertemukan karakter lain lagi dalam game yang kemungkinan besar akan muncul dalam film kelanjutannya setelah diperlihatkan sedikit di credit scene menjelang bubaran film.

Secara kualitas visual Sonic The Hedgehog tidak terkesan mewah untuk ukuran film Holywood zaman sekarang, cenderung masih kurang mulus. Tapi hal itu bukan berarti jelek untuk dilihat. Tidak ada tampilan scene action bermodalkan CGI yang mengganggu. Semuanya terkesan natural dan enak untuk diamati meski di layar bioskop yang besar sekalipun. Terutama karakter Sonic yang nampak smotch dan nyambung bergandengan dengan Tom maupun latar tempat dan warna yang realis dan nyata.

Ceritanya sendiri juga tidak terlalu berat sebagai tontonan anak-anak. Pengenalan karakter Tom Wachowski yang diperankan oleh James Marsden sebagai seorang polisi kota yang bersahabat dengan Sonic berandil besar dalam membawa warna film ke ranah drama keluarga dan pershabatan yang hangat dan ramah untuk ditonton kalangan semua umur. Meski sejujurnya, drama yang dibangun masih terkesan setengah-setengah dan cenderung kurang emosional nan membekas.

Jangan lupakan juga disini ada karakter Dr Robotnic sebagai karakter villain yang diperankan oleh Jim Carrey, yang ga kalah tampil menghibur. Gaya ekpresi wajahnya yang kocak mengingatkan kita akan film-film jim carrey yang iconic. Kemunculannya selalu tampil menghibur, gerakannya konyol meski menakukan bagi si Sonic sendiri. Selain ketiga karakter tersebut, ada karakter Maddie sebagai pasangan hidup Tom. Meski berusaha ditampilkan sebagai penunjang pembangunan karakter Tom dan jalannya penyelesaian konflik cerita, drama antara Tom dan Maddie tidak banyak terekspos tapi tetap tampil cukup sebagai pelengkap cerita.

Overall, Sonic The Hedgehog berhasil memuaskan sebagai tontonan yang menghibur. Visual effectnya tidak cannggung, drama ringannya sanggup berjalan solid yang membantu jalannya cerita tidak berlebihan dan tidak nampak kacangan. Film ini bisa menjadi penanda bahwa panggung untuk adaptasi live action masih bisa dijangkau oleh industry Holiwood, dan akan senantiasa memiliki penggemarnya sendiri.

7.5/10

Minggu, 27 Desember 2020

Turah (2017)



Bersyukur dalam menjalani hidup adalah perkara penting untuk mencapai kehidupan yang bahagia. Kebanyakan orang sekarang percaya, bahwa kekayaan materi tidaklah menjadi jaminan utama. Namun bagaimana jika kita yang hidup tenang dan serba nerimo ini ternyata sedang berada dalam lingkup lingkungan yang kurang menghargai keikhlasan kita, bertindak semena-mena, dan mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya atas dasar kekuasaan? 

Inilah yang seakan menjadi sorotan utama dalam film Turah. Mencoba merekam kondisi kampung marjinal yang secara tidak langsung nampak melas nan tertindas.

Tirang adalah nama kampung terpencil yang jauh dari wilayah lain. Warganya pun hanya beberapa keluarga. Mereka hidup serba sulit dan berkecukupan.Keberadaan mereka bak sebagai pelengkap suara pilkada. Air bersih dan penerangan kampung pun tak kunjung dibenahi. Sehari-hari hidupnya mereka gantungkan kepada Juragan Darso (Yono Daryono), yang mereka pahami selama ini sebagai pemilik tanah kampung kecil yg mereka tempati. Merawat kambing, tambak ikan, hingga memilah milah barang bekas menjadi pekerjaan utama demi mendapat upah dari Juragan Darso.

Turah (Ubaidillah) yang dipercaya Juragan Darso untuk menjaga dan memantau keadaan desa, tampak bersyukur dan menerima apa yang selama ini dia dapatkan. Sudah mendapat tempat tinggal dan punya satu tungku api untuk memasak seakan kekayaan yang melimpah. Namun bukan tanpa halangan, keadaan yang seperti ini membuat Kanti (Narti Diono), istri Turah merasa 'cukup' berdua saja di rumah, tak mengindahkan keinginan Turah untuk memiliki anak. Keadaan susah keluarganya membuat istri kawatir tentang masa depan anak dan memilih tinggal berdua saja.

Selain itu ada si Jadag (Slamet Ambari) yang berkebalikan dengan karakter Turah, perawakannya yang suka marah-marah, malas-malasan bekerja, minum-minuman membuatnya menjadi batu sandungan bagi Turah dan para penduduk Tirang. Namun perawakannya yang susah bukan tanpa alasan, Jadag merasa sudah bertahun-tahun lama mengabdi dengan Juragan Darso namun tak kunjung membuatnya lebih baik. Hidupnya masih serba susah, upahnya tak naik-naik. Kondisinya semakin membuatnya naik pitam setelah mengetahui Juragan Darso mempercayakan Pakel (Rudi Iteng) sebagai kaki tangan Darso untuk mengurus pekerjaan warga Tirang, mengurus upah-upah mereka. Pakel yang baru anak kemaren sore lulusan sarjana, memberikan perlakuan yang kurang layak dan semena-mena bagi Jadag dan warga lainnya.

Tak hanya melawan Darso dan Pakel, Jadag berusaha meneriakkan aspirasinya kepada Turah dan warga kampung Tirang. Dia berkata bahwa apa yang mereka kerjakan selama ini melebihi dari upah tak seberapa yang selama ini mereka dapatkan. Tanah Tirang layak untuk mereka. Warga Tirang berhak mendapat hak yang lebih dari sekedar makan sehari-hari. Seperti yang kita akan ketahui, apa yang dilakukan Jadag seperti bunuh diri, suaranya yang frontal cenderung sanggup memancing mudarat yang lebih besar. Teriakan mengajak keluar dari zona nyaman cenderung berbahaya.

Film Turah berjalan bagaikan film dokumenter, tanpa ada tambahan scoring yang biasa mengiringi setiap adegan film. Perjalanannya mengalir pelan, meskipun tampak suram. Namun hebatnya, dinamika film naik seiring berjalannya durasi. Tutur kata Jadag yang begitu vokal sepanjang film seakan menjadi pondasi utama kemana film akan berakhir. Setiap suara mulut yang keluar begitu berdampak. Raut wajah Turah semakin berubah semakin menjelaskan sesuatu, hingga sampai menjelang akhir film, ironi yang tergambakan dalam film ini begitu luar biasa mengguncang, dan menimbulkan diskusi yang menarik seusai menonton.

Film tanpa humor cenderung sulit untuk diterima oleh kalayak penonton umum Indonesia. Tapi premis yang dibawa film ini layak untuk menjadi alasan ditonton bersama-sama. Terbukti meskipun tidak dibekali jajaran cast mentereng, Turah sanggup berbicara banyak di ranah Festival Lokal maupun Internasional. Bahkan Turah menjadi film lokal terpilih untuk mewakili ajang kejuaran film populer Oscar 2018 melalui nominasi Foregn Film.

Turah bisa jadi jenis film yang hanya akan muncul beberapa tahun sekali. Tema dan pendekatannya yang berani memunculkan ide, gagasan, dan eksekusi yang brilian. Memantapkan para penggemar film Indonesia sekali lagi, bahwa Indonesia sanggup bertutur realistis dalam film, membawa unsur-unsur kemanusiaan dan sosial yang penting untuk asupan banyak orang untuk menempatkan sinema sebagai wadah untuk belajar dan peka terhadap masalah kehidupan sosial.

8/10

Rabu, 16 Desember 2020

My Sassy Girl (2001)


Tahun 2000-an menjadi awal korea selatan menjadi komodita panas terkait series drama romance-nya yang begitu popular di kalangan Internasional. Hal tersebut dapat dilihat dari kemuculan beberapa judul drama saat itu yang sangat populer sampai ke Indonesia, sebut saja Winter Sonata, Endless Love, Princess Hours, hingga Full House, yang masih begitu fenomenal nan membekas sampai sekarang.

Dari kesuksesan beberapa series dramanya, pada masanya masih sedikit dari kita yang menyadari bahwa sesungguhnya film drama layar lebar korea selatan juga tidak kalah sukses. Salah satunya yg paling terkenal adalah My Sassy Girl, yang banyak dibilang sebagai awal formula yang biasa dipakai dalam drama komedi romantis pada umumnya. Bahkan sampai sekarang apa yang menjad hal menarik dalam My Sassy Girl masih sering kita temui dalam film-film rom-kom era sekarang. Kocak, imaginatif, begitu menghibur, namun juga sanggup menyentuh, dan satu lagi permainan plot twist yang menjadi nilai plus dari My Sassy Girl membuat kita bertemu dengan scene-scene kejutan menarik yang pastinya akan sulit untuk diterka.

Bahkan saking suksesnya film ini, selama 6 minggu penayangan pada 2001 silam, My Sassy Girl sanggup betengger di puncak box office Korea Selatan dan masuk buku rekor sebagai film komedi romantis sepanjang masa. Di Hong Kong, tiket film ini laku 20 ribu lembar dalam sehari. Tak cukup sampai di situ, Hollywood kemudian membeli hak buat-ulang (remake) versi mereka. Selain itu dua aktor pemeran utamanya berhasil melesat tinggi karirnya setelah membintangi My Sassy Girl (2001).

Kisah cinta gila ini berawal dari Gyun-Woo (Cha Tae-Hyun) yang bertemu seorang gadis yg tidak dikenal (Giana Jun) yang hampir menjatuhkan dirinya sendiri ke rel kereta karena sedang dilanda mabuk berat. Beruntung Gyun-Woo yang nampak  seperti mahasiswa bloon, memiliki hati yang baik hati untuk berusaha menolong si gadis mabuk. Tapi naas kebaikan memang tidak selalu mendapatkan balasan yang setimpal. Perkenalan dengan Gyun-Woo ini dimaanfaatkan dengan baik kala si sassy girl memanggilnya ucapan ‘sayang’ setelah mendapati dirinya hilang kontrol memuntahi bapak-bapak penumpang kereta.gilaa!!

Tidak hanya kena omel, Gyun-Woo malah disuruh membersihkan muka bapaknya yang penuh air muntahan gadis tak dikenalnya itu. Menggendongnya keluar kereta, mengantarkannya ke hotel hingga tanpa dia inginkan kejadian konyol itu malah membawanya mengenal lebih jauh tentang gadis nakal ini yang semakin hari tingkahnya semakin aneh saja, banyak maunya, mengantarnya menjadi cowok yang semakin bloon dan nelangsa, namun hingga tanpa dia sadari kebiasaanya jadi budak perempuan nyeleneh membawanya ke dalam tingkat kehidupan yang beda, unik, dan begitu berwarna dari sebelumnya.

Bagi sebagian kaum hawa mungkin My Sassy Girl nampak bukan menjadi pilihan sebagai film romantis yang bikin klepek-klepek. Selain karena aktor cowoknya yang ga ada ganteng gantengnya, film ini sama sekali tidak tampil romantis bagai film macam Dilan yang suka tebar gombalan. Hubungan romantisme kedua karakter nampak abu-abu, tidak seperti pasangan, namun tidak pula seperti sebuah pertemanan. Benar-benar unik tapi cukup relate dengan kehidupan nyata. Segala yang ditawarkan My Sassy Girl sebagai hubungan romantisme yang unik, aneh, nan konyol, akan semakin menggiringmu mengikuti chemistry mereka yang akan semakin menarik untuk ditilik sampai akhir.

Story tellingnya yang rapih dari awal sampai akhir membangun dinamika ritme film yang utuh dan tidak terbata-bata meski cukup banyak memainkan adegan flash back. Ada sedikit pengadeganan yang nampak repetitive, tapi permainan adu lawan kedua karakter utama begtu berperan besar untuk membuat filmnya tidak membosankan. Unsur komedi yang dibuat juga tidak dipaksakan, selalu muncul di saat yang tepat dan seringnya terkesan murni terbentuk dari kekonyolan para karakter yang ada. Ada banyak adegan konyol yang bakal bikin perut keras saking ketawa dibuatnya. Adegan ditawan anggota tentara di kawasan taman hiburan salah satu yang tidak akan terlupakan bagi saya pribadi.

Untuk urusan sinematografi dan skoring My Sassy Girl tidak bisa berbuat banyak. Masa pembuatan film ini bisa menjadi kendalanya, mengingat ini dibuat di tahun 2001 yang masih minim teknologi, apalagi ini dibuat dan diproduksi oleh sinies korea (asia) yang pada masanya belum mencapai standart tinggi perfilman seperti sekarang. Skoringnya yang tampak monoton dalam pengambilan nada atau song familiar (bukan original) tidak terlalu mengganggu, meski jika itu di masa sekarang mungkin tampak malas (kecuali lagu tersebut dijadikan judul film). Namun meski begitu, kalian tetap akan mendapati satu original soundtrack di akhir fim yang pastinya berhasil membawa kenangan yang kuat setelah menontonnya.

Pada akhirnya My sassy girl (2001) menjadi film romance paling fenomenal menurut saya sampe sekarang. Naskah cerita yang dalam dan kuat. Plotnya mengalir dengan rapih, tidak mudah ditebak, penuh kejutan. Begitu emosional. Chemistry yg tercipta antara Giana Jun dan Cha Tae-hyun berhasil mengantarkan mereka menjadi aktor aktris yg paling diperhitungkan sampe sekarang. 

My Sassy Girl memiliki semua unsur romance yg kmu harapkan dari sebuah hubungan percintaan. Maniiis, ngeseliin, kocaak, namun begitu romantiis nan memorable. Kredit besar buat sutradara sekaligus penulis naskahnya.

8.5/10

I am a Hero (2016)

Ketika menonton film zombie apa yang sebenarnya ingin kita harapkan dari film tersebut. Apakah sebuah serbuan maut menegangkan nan mengancam...