Minggu, 27 Desember 2020

Turah (2017)



Bersyukur dalam menjalani hidup adalah perkara penting untuk mencapai kehidupan yang bahagia. Kebanyakan orang sekarang percaya, bahwa kekayaan materi tidaklah menjadi jaminan utama. Namun bagaimana jika kita yang hidup tenang dan serba nerimo ini ternyata sedang berada dalam lingkup lingkungan yang kurang menghargai keikhlasan kita, bertindak semena-mena, dan mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya atas dasar kekuasaan? 

Inilah yang seakan menjadi sorotan utama dalam film Turah. Mencoba merekam kondisi kampung marjinal yang secara tidak langsung nampak melas nan tertindas.

Tirang adalah nama kampung terpencil yang jauh dari wilayah lain. Warganya pun hanya beberapa keluarga. Mereka hidup serba sulit dan berkecukupan.Keberadaan mereka bak sebagai pelengkap suara pilkada. Air bersih dan penerangan kampung pun tak kunjung dibenahi. Sehari-hari hidupnya mereka gantungkan kepada Juragan Darso (Yono Daryono), yang mereka pahami selama ini sebagai pemilik tanah kampung kecil yg mereka tempati. Merawat kambing, tambak ikan, hingga memilah milah barang bekas menjadi pekerjaan utama demi mendapat upah dari Juragan Darso.

Turah (Ubaidillah) yang dipercaya Juragan Darso untuk menjaga dan memantau keadaan desa, tampak bersyukur dan menerima apa yang selama ini dia dapatkan. Sudah mendapat tempat tinggal dan punya satu tungku api untuk memasak seakan kekayaan yang melimpah. Namun bukan tanpa halangan, keadaan yang seperti ini membuat Kanti (Narti Diono), istri Turah merasa 'cukup' berdua saja di rumah, tak mengindahkan keinginan Turah untuk memiliki anak. Keadaan susah keluarganya membuat istri kawatir tentang masa depan anak dan memilih tinggal berdua saja.

Selain itu ada si Jadag (Slamet Ambari) yang berkebalikan dengan karakter Turah, perawakannya yang suka marah-marah, malas-malasan bekerja, minum-minuman membuatnya menjadi batu sandungan bagi Turah dan para penduduk Tirang. Namun perawakannya yang susah bukan tanpa alasan, Jadag merasa sudah bertahun-tahun lama mengabdi dengan Juragan Darso namun tak kunjung membuatnya lebih baik. Hidupnya masih serba susah, upahnya tak naik-naik. Kondisinya semakin membuatnya naik pitam setelah mengetahui Juragan Darso mempercayakan Pakel (Rudi Iteng) sebagai kaki tangan Darso untuk mengurus pekerjaan warga Tirang, mengurus upah-upah mereka. Pakel yang baru anak kemaren sore lulusan sarjana, memberikan perlakuan yang kurang layak dan semena-mena bagi Jadag dan warga lainnya.

Tak hanya melawan Darso dan Pakel, Jadag berusaha meneriakkan aspirasinya kepada Turah dan warga kampung Tirang. Dia berkata bahwa apa yang mereka kerjakan selama ini melebihi dari upah tak seberapa yang selama ini mereka dapatkan. Tanah Tirang layak untuk mereka. Warga Tirang berhak mendapat hak yang lebih dari sekedar makan sehari-hari. Seperti yang kita akan ketahui, apa yang dilakukan Jadag seperti bunuh diri, suaranya yang frontal cenderung sanggup memancing mudarat yang lebih besar. Teriakan mengajak keluar dari zona nyaman cenderung berbahaya.

Film Turah berjalan bagaikan film dokumenter, tanpa ada tambahan scoring yang biasa mengiringi setiap adegan film. Perjalanannya mengalir pelan, meskipun tampak suram. Namun hebatnya, dinamika film naik seiring berjalannya durasi. Tutur kata Jadag yang begitu vokal sepanjang film seakan menjadi pondasi utama kemana film akan berakhir. Setiap suara mulut yang keluar begitu berdampak. Raut wajah Turah semakin berubah semakin menjelaskan sesuatu, hingga sampai menjelang akhir film, ironi yang tergambakan dalam film ini begitu luar biasa mengguncang, dan menimbulkan diskusi yang menarik seusai menonton.

Film tanpa humor cenderung sulit untuk diterima oleh kalayak penonton umum Indonesia. Tapi premis yang dibawa film ini layak untuk menjadi alasan ditonton bersama-sama. Terbukti meskipun tidak dibekali jajaran cast mentereng, Turah sanggup berbicara banyak di ranah Festival Lokal maupun Internasional. Bahkan Turah menjadi film lokal terpilih untuk mewakili ajang kejuaran film populer Oscar 2018 melalui nominasi Foregn Film.

Turah bisa jadi jenis film yang hanya akan muncul beberapa tahun sekali. Tema dan pendekatannya yang berani memunculkan ide, gagasan, dan eksekusi yang brilian. Memantapkan para penggemar film Indonesia sekali lagi, bahwa Indonesia sanggup bertutur realistis dalam film, membawa unsur-unsur kemanusiaan dan sosial yang penting untuk asupan banyak orang untuk menempatkan sinema sebagai wadah untuk belajar dan peka terhadap masalah kehidupan sosial.

8/10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

I am a Hero (2016)

Ketika menonton film zombie apa yang sebenarnya ingin kita harapkan dari film tersebut. Apakah sebuah serbuan maut menegangkan nan mengancam...