Kamis, 27 Januari 2022

I am a Hero (2016)


Ketika menonton film zombie apa yang sebenarnya ingin kita harapkan dari film tersebut. Apakah sebuah serbuan maut menegangkan nan mengancam? Atau sebuah gambaran para zombie gila yang asik mencabik cabik tubuh para manusia? Itu adalah kombinasi yang biasa kita dapatkan dalam film-film zombie kebanyakan. Tapi bagaimana jika film zombie dibuat oleh negara yang notabene-nya bergerak dan cerdas dalam film drama?. 


Setelah sebelumnya Korea Selatan diguncang oleh ketegangan para penumpang dalam kereta yang tetiba digrayangi oleh para zombie dalam Train to Busan, kali ini Jepang memperkenalkan film zombie yang tak kalah menyenangkannya dengan Train to Busan, dengan dikemas secara lebih unik khas film-film jepang.

Diadaptasi dari Manga karangan Kengo Hanazawa dengan judul yang sama, I am a Hero adalah sebuah sajian film zombie yang sebenarnya menggunakan formula yang biasa; kota yang diserang oleh virus zombie, menggigit manusia kemudian menular. Tapi dalam film zombie dari jepang kali ini, zombie bukanlah jualan utama. Melalui karakter Hideo, seorang asisten komik berumur 35 tahun yang belum sama sekali melakukan debut, dikejar oleh bayang-bayangnya untuk sukses, namun tanpa perjuangan yang besar, hal ini membuatnya sering diledek di tempat kerja bahkan dicela oleh pacarnya sendiri karena dianggap seorang yang hanya tukang khayal saja tanpa tindakan nyata. Hingga tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba di suatu pagi Hideo mendapati kota tempat tinggalnya diserang oleh para virus mengerikan (yang kemudian disebut sebagai virus ZQN), membuat para warga kota hilang kendali menjadi zombie. Kondisi ini membuat Hideo bak tenggelam dalam khayalannya sendiri. Kondisi hidup mati yang secara tidak langsung menuntunnya untuk menjadi pahlawan atau tetap menjadi seorang pecundang selamanya.

Namun berbeda dengan kebanyakan film zombie pada umumnya yang lebih menekankan scene action dibanding alur cerita, I am a Hero tampil lebih seperti film drama dibanding film action atau thriller. Alur cerita berjalan lambat dan lebih menekankan sisi penokohan tokoh-tokohnya (terutama pembangunan tokoh Hideo). Bagi penonton umum, hal ini akan tampak mengganggu dan kurang asyik untuk diikuti. Tapi bagi penggemar film jepang seperti saya, gaya bercerita lambat seperti ini sudah seperti ciri khas dari film Jepang itu sendiri. Jika sanggup sabar dan menikmatinya, film ini akan benar-benar layak mendapatkan kredit yang lebih sebagai film zombie. Penokohan karakternya yang kuat membuat film ini tidak hanya tampil garang dalam segi aksi, tapi juga membawa pesan dan pelajaran yang penting yang membuat kita tidak hanya selesai menontonnya dengan rasa puas saja.

Secara visual, penggambaran wujud zombie disini lebih nampak natural nan brutal. Tidak hanya itu, ada cukup banyak darah yang membuatnya kelihatan ngeri. Uniknya, zombie disini akan nampak seperti manusia normal ketika tidak sedang bertemu dengan manusia yang belum terkena gigitan, mereka akan nampak melakukan kegiatan yang biasa mereka lakukan sebelum terkena virus. Ada yang kelihatan sedang belanja, telfonan, berlari-lari layaknya atlit. Membuatnya nampak unik tapi creepy. Mungkin bisa dikatakan kemunculan dan serangan para zombie ini hanya muncul di bagian awal film dan bagian ketiga dari film menjelang akhir. Namun itu tidak berarti buruk, meskipun lebih menekankan unsur cerita dan drama, sisi kebrutalan zombie di seperempat film menjelang akhir akan benar-benar memuaskan, serangan zombie-zombie yang hadir tidak tanggung-tanggung. Berhasil nampak chaos nan menegangkan

Shinsuke Sato sebagai sutradara memang cocok menggarap adaptasi manga/anime action papan atas. Setelah sebelumnya berhasil menggarap dengan apik adaptasi live action Gantz pada tahun 2011, I am Hero menjadi pencapaian yang tinggi, mengingat kualitasnya yang jauh lebih baik. Baik dari penulisan naskah maupun segi directing. Hingga tulisan ini dibuat, dia sudah menggarap film-film adaptasi manga action seperti Inuyashiki (2018), Kingdom (2019), dan Bleach (2018). Keunggulan dari directing Shinsuke Sato ada pada penggarapn CGI yang tidak pernah nampak kacangan meskipun masih belum semulus spesial efek garapan film-film Hollywood. Namun penggarapan CGi di I am Hero tetaplah mengagumkan, terutamajika kitasandingkan dengan film-film asia lainnya.

Directing Shinsuke Sato tidak akan berjalan baik tanpa dukungan para castnya yang berhasil memerankan perannya masing-msing secara baik. Terutama Yo Oizumi yang berperan sebagai Hideo yang sanggup  mentransformasikan dirinya sebagai seorang om-om pecundang yang lemah namun baik hati. Begitu juga dengan lawan mainnya Arimura Kasumi yang tampil apik dan emosional meskipun minim dialog. Kehadirannya penting guna memberikan dinamika bagi pertumbuhan karakter utama.

Overall, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa film ini lebih digambarkan untuk mengamati perkembangan karakter Hideo, setelah mendapati dirinya dalam tragedi zombie dan pengenalannnya dengan karakter-karakter sepanjang film. Bagaimana dirinya begitu pecundang, bagaimana perkembangan karakternya setelah muncul wabah zombie dan bertemunya dengan karakter lainnya sepanjang film. Pendekatannya yang lebih mengutamakan sisi drama dibanding banyaknya pengadeganan laga, menghasilkan tontonan film zombie yang terasa fresh dan tidak biasa. Memberikan tontonan film zombie yang unik namun sanggup berkesan. Bagaimana film ini dengan sangat rapih memberikan gambaran tentang from zero to hero secara gamblang.

I am a Hero (2016)

Ketika menonton film zombie apa yang sebenarnya ingin kita harapkan dari film tersebut. Apakah sebuah serbuan maut menegangkan nan mengancam...